Komisi VIII Dukung Revisi UU Penanggulangan Bencana
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzili (F-PG) berjabat tangan sebelum dimulai acara RDP Komisi VIII DPR dengan sepuluh Kepala Pelaksana BPBD se Indonesia/Foto:Arief/Iw
Komisi VIII DPR RI memahami dan memberikan perhatian atas usulan sejumlah Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk merevisi UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Diantaranya terkait dengan status/nomenklatur Kepala Pelaksana BPBD menjadi Kepala BPBD.
Demikian salah satu kesimpulan RDP Komisi VIII DPR dengan sepuluh Kepala Pelaksana BPBD se Indonesia di Ruang Rapat Komisi VIII Gedung Nusantara II, Senayan, Senin (2/4/2018).
Ketua Rapat Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzili menyatakan, untuk itu Komisi VIII akan mengupayakan kesesuaian regulasi di lingkungan Kemendagri terkait jabatan BPBD Provinsi sesuai UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam kaitan ini juga perlu dilakukan revisi Permendagri No. 46/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD.
Kepala BPBD Sumut Riadil Akhir Lubis menyambut baik Komisi VIII yang telah menyebut Kepala Badan bukan Kepala Pelaksana sehingga menguatkan untuk melakukan tugasnya. “Perda kami sudah kepala badan bukan kepala pelaksana,” ungkapnya.
Pihaknya mendukung revisi UU No. 24/2007 karena terminologi Kepala Pelaksana adalah pejabat Eselon Ib di bawah Gubernur, kenyataannya masih Eselon II a. Padahal Permendagri yang mengatur harus Eselon II b ex officio ditangani Sekda.
Kepala Pelaksana BPBD NTB Mohammad Rum menyatakan, sependapat dengan usulan Kepala Pelaksana BPBD Sumut tentang revisi UU tentang Penanggulangan Bencana dan perlu adanya regulasi khusus terkait penaggulangan bencana.
Dari segi alokasi dana, dia mengusulkan minimal 1 persen dari APBD atau APBN, dan proses pengadaan barang dilakukan dengan penunjukan langsung. “Tidak hanya tanggap darurat, pasca terjadinya bencana juga melalui penunjukan langsung,” ujar Rum.
Perlunya penunjukan langsung tanpa tender dimaksudkan untuk mempercepat bantuan sebab korban bisa mengalami penderitaan cukup panjang harus menunggu proses tender. Demikian pula dalam melakukan perbaikan infrastruktur akibat bencana, kalau melalui tender sementara musim hujan akan datang lagi, sehingga menurutnya tidak memberi efek terhadap pencegahan bencana.
Di bagian lain, mereka mengusulkan adanya pengaturan asuransi bencana alam kepada masyarakat yang terkena bencana. Selama ini lebih mengedepankan fisik rehabilitasi dan rekontruksi. Tapi tidak ada asuransi bencana kepada masyarakat. Contohnya negara yang telah mempratekkan asuransi bencana adalah Turki dan Jepang.
“Saran kami perlu ada UU Khusus atau menjadi bagian dari revisi UU No. 24/2007, perlu adanya asuransi bencana bagi masyarakat yang terkena bencana,” kata Riadil Akhir menambahkan. (mp/sc)